Assalamua’alaikum…
Dear sobat, masih dalam suasana
haru soalnya aku masih bisa bertemu dengan bulan Ramadhan tahun ini. Semoga semuanya menjadi lebih baik lebih baik
dan lebih baik. Aamiin.
Menjadi
anak kost, keadaan yang membuat aku mau tidak mau harus mau untuk memilih jalan
itu. Menjadi anak kost, bukan hal yang asing dalam hidupku. Menjadi anak kost,
dari kuliah hingga kerja. Menjadi anak kost, kalau kata orang enak, bebas, mau
kemana-mana terserah kaki melangkah. Tapi kalau menurut aku sih sama aja, secara dari dulu hidup aku
sudah bebas sebebas-bebasnya meskipun tinggal bersama orang tua. Orang tua
selalu membebaskan kemanapun aku mau pergi. Mau ikut semua kegiatan ekstra di
sekolah boleh, mau camping di hutan
boleh(hobi banget tu), mau les ke guru mana pun boleh, mau main sesuka hati
juga monggo. So, sama aja jadi anak
kost sama tinggal dengan orang tua ( Awesome
Parents). Kalau ngekost malah semua serba sendiri, tidur bayar, makan bayar
(yaaa walaupun dulu tetep aja orang tua yang bayarin).
Puasa
dan Anak Kost. Pengalaman pertama puasa menjadi anak kost sewaktu kuliah di
Pontianak. Semuanya serba beli, kecuali nasi. Kalau pas sahur telur dadar hampir
menjadi makanan favorit (terpaksa juga sih
). Kuliah selesai pulanglah ke rumah, eeeh
belum aja ketemu bulan puasa udah
kuliah lagi ke Jogja. Di tanah Jawa tersebut ternyata aku jadi makin menikmati
(manja tepatnya) menjadi anak kost. Semuanya serba ada. Bahkan yang dulu rajin
masak nasi jadi jarang (pake banget). Semuanya serba makan di luar.
Perkembangan signifikan yang terjadi ketika ngekost di Jogja ketika makan sahur,
yang dulunya sewaktu di Pontianak makan dengan hanya telur dadar kalau di Jogja
makanannya terbilang lengkap dan menyehatkan. Ada nasi, sayur, lauk dan buah. Orang
yang paling berjasa dari lengkapnya makan sahur aku pada waktu itu adalah Ibu
Ketering. Setiap subuh ketika bangun makanan lengkap sudah siap di depan kamar kost (temen
yang ngambilin, haha).
Lain dulu
lain sekarang. Dulu anak kost kuliahan sekarang anak kost kerjaan (udah kerja
maksudnya). Naaah… sampailah pada inti cerita. Sebenarnya mau cerita detail
dari awal jadi anak kost sampai sekarang tapi berhubung memori terbatas jadi
cerita yang masih segar aja.
Bulan
Ramadhan 1436 H ini aku puasa di tempat tugas KOTA KECAMATAN KAYAN HILIR (“kota”nya
agak maksa). Kayaknya puasa kali ini adalah puasa terunik (nenes lebih tepatnya) versi 25 tahun hidupku. Dari awal sebelum puasa kemarin
aku sudah dihinggapi berbagai macam kekhawatiran yang semuanya mengerucut
kearah kekhawatiran tentang ‘makanan’. Buka nda ya warung makan (langganan) ? dan
gimana makan sahurnya?. Sekedar info, keadaan dapur kost aku sekarang tidak
memungkinkan untuk masak yang ‘macem-macem’ (haha, banyak lapis). Setelah
dikonfirmasi ternyata warung makan buka di bulan puasa (bahkan untuk sahur juga)
tetapi 2 sampai 3 hari menyambut puasa tutup dulu. *dalam hati* oooh y owes lah
ga papa, dua hari ini masak dan makan seadanya aja.
Malam
tarawih pertama tiba. Dari malam udah niat kalau sahur nanti cukup minum air
putih saja (dari malam males makan). Waktunya makan sahur tiba, hape berdering (
super mom, boy friend pada nelpon). Masih
keukeuh untuk bilang ke mereka “aku ga sahur, mau minum air putih
aja”. Setelah mereka selesai menelpon pikir-pikir ga ada salahnya juga aku
makan sahur lagian ada sebungkus mie dan sebutir telur di dapur ( cadangan
makan ala anak kost). Akhirnya “oke deh, aku sahur”. Menunya telur goreng dan
mie goreng. Bahan dan peralatan siap, kuali yang sudah terisi minyak
goreng siap untuk menggoreng telur (mata
sapi jee). Minyak panas, telur siap
digoreng. “Preek”!!! (suara mecahkan cangkang telur). Bukan sulap bukan sihir, ternyata
telurnya sudah busuk. Berhubung aku orang yang legowo ya sudahlah aku masak mie goreng aja (pasrah). Kuali berisi
minyak diganti dengan panci berisi air , ketika air hampir mendidih aku ambil
mie untuk siap-siap direbus. Mujurnya,
sebelum buka bungkus mie terlihatlah tanggal ED, bulan Juli 2015. Yaaaaaela itu
kan ED nya bulan depan. Untuk memastikan kondisi mie aku pun membuka bungkusnya
dan mujurnya lagi mie udah demun alias
melempem. Dan untuk lebih memastikan
lagi kondisi mie, aku cuil sedikit
terus aku makan dan lagi lagi kemujuran berpihak, mie sudah terasa asam. Ga tau
asam dari mie atau dari mulutku (secara bangun tidur tanpa sikat gigi, wkwkw). Lagi
lagi dengan hati yang legowo akhirnya
air yang sudah mendidih aku seduhkan ke dalam cangkir yang telah terisi teh dan
gula. Cerita sahur pertama selesai dengan segelas teh panas (lumayanlah).
Masih
di hari yang sama. Waktu berbuka puasa hampir tiba. Sore itu aku berniat main
ke komplek puskesmas (ngabuburit) terus
pulangnya baru beli makan untuk berbuka. Pulang main aku langsung mencari kue
untuk berbuka tapi kok udah pada habis semua. Ternyata aku terlambat. Setelah keliling
dapatlah tempat orang jual gorengan, untung aja gorengannya masih. Itupun tinggal
bakwan dan harus menunggu karena bakwan sedang digoreng (is ok). Di warung itu niatnya pengen beli teh es tapi ternyata nda
ada, yaa sudahlah beli es nya aja terus nanti bikin teh sendiri di kost. Sesampainya
di kost, ngerebus air dan membuat teh. Ada yang salah ketika aku menyeduh teh. Gula
dan teh aku masukkan dalam sebuah botol plastik M***life dengan pemikiran
botolnya kuat karena air yang aku rebus ga sampai mendidih (hangat-hangat
rambut). Daaaan ternyata dugaanku salah, botol meleot kepanasan. Cerita berbuka puasa pertama selesai dengan
sebotol teh es yang meleot dan
bakwan.
Sekian ^_^